Jumat, 14 Januari 2011

Pluralisme dan liberalisme

Pluralisme dan liberalisme merupakan ramuan mujarab untuk menuntaskan masalah fanatisme agama. Sejalan dengan liberasi ekonomi politik dan ekonomi internasional, liberasi dalam bidang pemikiran pun dicakarkan. Kesenjangan ekonomi, peperangan, dan kelaparan adalah masalah manusia yang tidak bisa hanya dituntaskan melalui bantuan ekonomi dan gencatan senjata. Tentunya ada banyak sebab yang melatarbelakanginya, dan tentu saja ada bayak cara untuk menuntaskanya.
Pemikiran yang liberal dan maju diharapkan dan diyakini akan mampu mendorong perubahan kearah yang lebih baik dan maju. Karena melalui gaya berpikir yang rasional, futuristik, kontektual dan tidakManusia terkadang memahami hakikat didalam agama Yahudi, terkadang juga memahaminya didalam agama lainnya. dogmatis menjadi tumpuan pencerahan. Dominasi taqlid diharapkan bisa dihapus, dan umat bisa keluar dari kungkungan tradisi yang tidak produktif. Dengan adanya kesadaran dan pandangan dunia yang seperti itu diharapkan manusia bisa menempatkan agama dalam posisinya yang tepat sebagai rohmatal lilalamin. Artinya agama bukan lagi sebagai pemicu Tumbuh bukan hanya dilingkungan intelektual perkotaan, para mahasiswa, akademisi dan aktivis berbagai kajian diperlagai temapat menjadikan paradigma tersebut sebagai wacana baru pemikiran. Konflik dan penghancur kebudayaan, tetapi sebagimana yang Tillich katakan menjadi fondasi budaya manusia.
Beralih kemasalah liberalisme, liberalisme seakan bak jamur dalam arena pemikiran. Modernisme, neo-modernisme, atau yang lebih populer sekarang islam liberal tidak hanya terbatas kepada kelompok yang dulu dianggap sebagai perintis pembaharuan. Ia telah menjadi wacana yang menyebar kedalam bukan hanya milik para pembaharu,Tapi juga telah menyebar ke dalam kaukus-kaukus muda yang berasal dari pesantren dan pedesaan.
Konstruksi pemikiran yang dibentuk—liberalisme--dengan landasan ideal yang menjadi pilar penyangganya pemikiran selalu menawarkan alternatif serta persefektif baru bagi kesadaran. Seperti Fazlur Rahman yang memberikan kesadaran teologi (sebagain) umat Islam di Indonesia dengan konsep pendekatan holistik--yang dikenal dengan “teologi Qur’ani”--yang disodorkannya. Maka dengan serta-merta telah membuka cakrawala pandang baru yang lebih fungsional, liberal, dan applicabledalam merespon problema sosial kemanusiaan mutakhir.
Sejumlah “organisme” pemikiran yang sangat berharga dan sarat dengan nilai-nilai liberal yang kontekstual, transformatif, dan juga otentik lahir. Di dalam negeri sendiri pun kerap bermunculan para pemikir yang jempolan. Seperti Harun Nasution, Nurcholis Majid, Gus Dur, Kang Jalal, Kuntowijoyo dan lainnya. Kemudian generasi mudanya seperti Ulil, dengan islam liberalnya juga menjadi fenomena baru akhir-akhir ini.
Akhir kata,Agama yang sering dianggap sebagai esensi yang terdalam dan menyentuh setiap aspek kehidupan ternyata sarat tujuan. Secara fungsional keberadaannya bertujuan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dalam keselarasan dirinya dengan alam dan sesamanya. Terutama dalam mencari dan mencapai kebenaran yang terus-menerus berubah seiring dengan perkembanganzaman.
Ditengah konflik global agama diharapkan mampu menjadi mainstream harmonisasi bagi setiap kontradiksi yang ada dalam kehidupan manusia sehingga setiap bentuk perseteruan tidak terjadi antara manusia dan sesamanya. Perbedaan kepentingan dari beragam keunikan manusia dan beraneka macam bentuk agama menjadikan manusia harus mempertanyakan setiap kebenaran yang ada dalam hidupnya. Proses kesejarahan dan dialektika dalam mencari gambaran Tuhan di dalam diri manusia terus-menerus berlangsung dalam dimensi pertarungan ruang dan waktu.
Jika tujuan pokok beragama merupakan pencapaian perkembangan rohani dalam diri manusia, sehat dan matang secara psikologis, seimbang dalam tataran spritual dan material. Apabila gagal mencapai keadaan tersebut, maka S Freud menggambarkannya sebagi suatu keadaan "neurosis obsesional" dalam diri umat beragama. Yaitu fenomena orang-orang yang tidak mencapai perkembangan rohani, mencapai hakekat agama sebagi cure of the soul (penyembuh ruhani).
oleh karena itu, agama dengan segala pluralitas nan ragamnya, mulai dari pluralitas pemahamannya, pluralitas kondisi sosio historisnya mesti tetap dipahami sebagai suatu kerangka yang mampu menjembatani kearah terbentuknya manusia yang paripurna. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar